Aku lahir, tumbuh, dan berkembang dalam alam dan suasana pedasaan yang kental. Alam yang murni dan apa adanya. Alam yang penuh keramahtamahan. Alam yang memberikan apa yang aku butuhkan: udara yang segar, kicau burung liar, angin semilir, air yang mengalir, bunga yang rekah, umbi dan buah yang ranum, mentari yang ramah, bulan yang indah, bintang cemerlang, langit yang biru, awan yang bersih, hujan yang beraroma surgawi, dan segala kenikmatan hidup yang tak mungkin bisa disebutkan satu persatu. Mungkin karena itulah sedari kecil aku sudah sangat mencintai alam yang hijau.

Dulu itu, halamanku penuh dengan tanaman bunga hanya karena memang aku suka. Tak ada alasan lain. Semata-mata hanya karena aku suka bila saat kubuka mataku di pagi buta adalah aroma bunga-bunga yang kupuja itu yang menyapaku pertama. Semata-mata hanya karena aku cinta bila saat kubuka jendela adalah daun-daun hijau yang basah dengan embun itu yang tersenyum pada jiwaku pertama. Semata-mata karena aku bahagia, ya aku bahagia menyaksikan dan menemani tanamanku tumbuh bersamaku. Walau belum diisi dengan kesadaran yang nyata, walau hanya sebatas suka, aku sudah mencintai hijau sejak lama.

Berbeda denganku, ayahku memilih menanam berbagai pohon buah dan sayuran di sekitar halaman. Beliau tentu saja sudah lebih serius, luas, dan nyata dalam mencintai alam yang hijau. Ya, rupanya darah kecintaanku ini mengalir darinya. Kadang, beliau sedikit protes bila tanaman bungaku sudah agak mengganggu karena memenuhi teras dan halaman. Bukan, bukannya Ayah tak suka dengan tanamanku, namun katanya lebih baik menanam apa yang bisa dimakan.

Ah, sungguh saat itu aku tak berminat menanam buah-buahan atau sayuran. Saat itu aku pikir, apa menariknya bertanam sayur dan buah di rumah? Berbeda dengan tanaman bunga, bunga membuat rumah menjadi lebih nyaman dan indah, pikirku. Kini aku baru menyadarinya, mengapa dahulu itu aku tidak tertarik dengan tanaman sayur dan buah. Karena aku sama sekali tidak merasa membutuhkannya. Ya, karena sayur dan buah sudah tersedia. Karena ayahku menyediakannya, menanamnya.

Kini setelah aku dewasa, aku berbalik seperti ayahku itu, aku lebih memilih bertanam sayur dan buah. Bukan berarti aku tak suka lagi pada bunga. Bagiku bunga tetap sesuatu yang indah dan membahagiakan, namun aku tak lagi ‘kalap’ pada berbagai jenis bunga seperti dulu. Semua ini karena perubahan apa yang aku butuhkan. Kini aku merasa lebih butuh pada tanaman sayur dan buah karena kini aku yang harus menyediakan semua itu. Tak seperti dulu, saat tinggal bersama orangtua semua itu sudah tersedia. Ya, akhirnya segala sesuatu berjalan dilatarbelakangi oleh kesadaran diri atas apa yang kita butuhkan.

Apapun tanamannya: bunga-bungaan, sayuran, ataupun buah-buahan tidak menjadi masalah. Pada prinsipnya mari kita hijaukan lingkungan kita, demi masa depan yang lebih baik! Alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita, bukan pula hak milik kita. Alam ini adalah titipan dari anak cucu kita. Mari hijaukan sekitar kita! Semua itu bisa kita mulai dari diri dan rumah kita! Let’s go green!


Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    Author

    Saya adalah seorang pecinta hijau sejak kecil. Pengagum kesederhanaan bumi dalam ketangguhan, pengorbanan, dan balas budinya.

    Jika kita bisa hidup selaras dengan alam, sungguh alam sangat tahu cara membalas budi. Begitu pula sebaliknya!

    Archives

    August 2012

    Categories

    All
    Go Green!